
Kristus Raja
Di dalam tahun liturgi gereja, kebaktian minggu ini kita kenal sebagai Minggu Kristus Raja. Secara liturgis Minggu Kristus Raja menjadi penutup atau puncak dari seluruh lingkaran tahun liturgi. Seminggu setelahnya gereja kemudian memasuki masa Adven yaitu minggu awal tahun liturgi. Dengan demikian pemaknaan akan Minggu Kristus Raja tidak bisa terlepas dari keseluruhan putaran waktu tahun liturgi gereja. Di dalam perputaran tersebutlah umat di ajak dalam sebuah proses perjalanan keselamatan di dalam perjalanan waktu kehidupan. Apabila dalam Minggu-minggu Advent, sebagai awal tahun liturgi, kita menghayati keberadaan waktu liturgis dalam spiritualitas mempersiapkan kedatangan Tuhan Yesus sebagai Juruselamat. Melalui peziarahan iman dalam lingkaran tahun liturgi, kita dipimpin memasuki perjalanan spriritualitas yang menuju kepada pengakuan iman, bahwa Kristus adalah Raja yang akan datang kembali kelak dalam kuasa dan kemuliaan-Nya pada saat akhir zamantiba. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa seluruh peziarahan Gereja dimahkotai dengan pengakuan iman Kristus Raja semesta alam.
Perjumpaan yang Mengubah
Perkembangan teknologi saat ini membuat intensitas perjumpaan kita dengan orang lain begitu mudahnya untuk dilakukan. Melalui banyak cara kita bisa berjumpa dengan siapapun, baik melalui media sosial ataupun berjumpa secara langsung karena kemudahan transportasi dan juga tersedianya tempat-tempat yang menarik, nyaman dan sekaligus “aman” untuk menghabiskan waktu dan saling bercengkrama dengan orang-orang yang terkasih. Tetapi, kemudahan-kemudahan ini juga membangun “tembok-tembok” yang membuat kita menjadi pribadi yang pemilih, kita dengan mudah bisa mengatur dengan siapa saja kita mau atau tidak mau berjumpa untuk membangun relasi.Perkembangan teknologi saat ini membuat intensitas perjumpaan kita dengan orang lain begitu mudahnya untuk dilakukan. Melalui banyak cara kita bisa berjumpa dengan siapapun, baik melalui media sosial ataupun berjumpa secara langsung karena kemudahan transportasi dan juga tersedianya tempat-tempat yang menarik, nyaman dan sekaligus “aman” untuk menghabiskan waktu dan saling bercengkrama dengan orang-orang yang terkasih. Tetapi, kemudahan-kemudahan ini juga membangun “tembok-tembok” yang membuat kita menjadi pribadi yang pemilih, kita dengan mudah bisa mengatur dengan siapa saja kita mau atau tidak mau berjumpa untuk membangun relasi.
Mengenang Dikau, Wahai Pahlawan
Saya yakin sedikit sekali –bahkan hampir tidak ada- orang yang keberatan jika ia disebut sebagai pahlawan. Tentu ada perasaan bangga, dihormati, dan dihargai. Serasa tidak sia-sia semua jasa dan pengorbanan yang sudah dilakukannya untuk bangsa dan orang lain. Memang, ada saja segelintir orang yang tidak (atau belum) bersedia menyandang predikat pahlawan karena alasan tertentu. Penyebabnya bisa saja karena ia sendiri merasa tidak/belum layak atau karena ia menyadari bahwa predikat pahlawan yang dikenakan kepadanya hanya faktor belas kasihan atau sekedar balas jasa. Atau yang lebih parah lagi sebagai julukan untuk melecehkan. Contohnya adalah istilah ‘pahlawan kesiangan’ untuk menyebut mereka yang sok jadi pahlawan. Kata ‘pahlawan’ berasal dari bahasa Sansekerta ‘phala’ yang bermakna hasil atau buah. Konon kata ‘pahlawan’ juga berasal kata ‘pahala-wan’, yang berarti orang yang berbuat pahala, jasa, atau kebaikan bagi sesama. Dengan kata lain, seseorang baru dapat dikatakan sebagai pahlawan jika ia berani berjuang membela kebenaran dan keadilan, bahkan berani mengorbankan nyawanya demi kebaikan dan kepentingan banyak orang, bangsa dan negara.Saya yakin sedikit sekali –bahkan hampir tidak ada- orang yang keberatan jika ia disebut sebagai pahlawan. Tentu ada perasaan bangga, dihormati, dan dihargai. Serasa tidak sia-sia semua jasa dan pengorbanan yang sudah dilakukannya untuk bangsa dan orang lain. Memang, ada saja segelintir orang yang tidak (atau belum) bersedia menyandang predikat pahlawan karena alasan tertentu. Penyebabnya bisa saja karena ia sendiri merasa tidak/belum layak atau karena ia menyadari bahwa predikat pahlawan yang dikenakan kepadanya hanya faktor belas kasihan atau sekedar balas jasa. Atau yang lebih parah lagi sebagai julukan untuk melecehkan. Contohnya adalah istilah ‘pahlawan kesiangan’ untuk menyebut mereka yang sok jadi pahlawan. Kata ‘pahlawan’ berasal dari bahasa Sansekerta ‘phala’ yang bermakna hasil atau buah. Konon kata ‘pahlawan’ juga berasal kata ‘pahala-wan’, yang berarti orang yang berbuat pahala, jasa, atau kebaikan bagi sesama. Dengan kata lain, seseorang baru dapat dikatakan sebagai pahlawan jika ia berani berjuang membela kebenaran dan keadilan, bahkan berani mengorbankan nyawanya demi kebaikan dan kepentingan banyak orang, bangsa dan negara.