Perjumpaan yang Mengubah
Perkembangan teknologi saat ini membuat intensitas perjumpaan kita dengan orang lain begitu mudahnya untuk dilakukan. Melalui banyak cara kita bisa berjumpa dengan siapapun, baik melalui media sosial ataupun berjumpa secara langsung karena kemudahan transportasi dan juga tersedianya tempat-tempat yang menarik, nyaman dan sekaligus “aman” untuk menghabiskan waktu dan saling bercengkrama dengan orang-orang yang terkasih. Tetapi, kemudahan-kemudahan ini juga membangun “tembok-tembok” yang membuat kita menjadi pribadi yang pemilih, kita dengan mudah bisa mengatur dengan siapa saja kita mau atau tidak mau berjumpa untuk membangun relasi.Perkembangan teknologi saat ini membuat intensitas perjumpaan kita dengan orang lain begitu mudahnya untuk dilakukan. Melalui banyak cara kita bisa berjumpa dengan siapapun, baik melalui media sosial ataupun berjumpa secara langsung karena kemudahan transportasi dan juga tersedianya tempat-tempat yang menarik, nyaman dan sekaligus “aman” untuk menghabiskan waktu dan saling bercengkrama dengan orang-orang yang terkasih. Tetapi, kemudahan-kemudahan ini juga membangun “tembok-tembok” yang membuat kita menjadi pribadi yang pemilih, kita dengan mudah bisa mengatur dengan siapa saja kita mau atau tidak mau berjumpa untuk membangun relasi.
Tanpa disadari, kondisi ini malah membuat diri kita menjadi orang-orang yang eksklusif yang semakin pemilih untuk berjumpa dengan siapa dan berkomunikasi dengan siapa. Dengan demikian ada sebuah pertanyaan besar yang harus kita renungkan dan kita refleksikan dalam hidup, apakah perjumpaan yang kita “kondisikan” ini dapat berdampak bagi sesama? Atau setiap perjumpaan yang kita pilih ini hanya sekadar untuk menyenangkan hati kita, atau hanya sebatas memuaskan kebutuhan kita untuk didengar, dihargai dan terpenuhi kebutuhan kita, tanpa mau mendengar, menghargai dan tidak peduli dengan kebutuhan orang lain.
Hal ini tentu tidak sejalan dengan panggilan kita sebagai orang Kristen yang harusnya memiliki nilai hidup dengan tidak membeda-bedakan orang berdasarkan apa yang dia miliki ataupun berdasarkan kondisi orang tersebut. Kisah seorang Samaria menolong orang yang habis dirampok menunjukan kepada kita bagaimana kita harus bertindak dalam setiap perjumpaan yang kita alami.
Teladan seorang Samaria ini bisa menjadi sebuah refleksi bagi diri kita, bagaimana kasih itu tidak memiliki batas, kasih tidak membeda -bedakan, kasih senantiasa mau berkorban untuk orang lain. Kemudahan-kemudahan yang kita miliki sudah memberikan kehidupan yang lebih baik bagi diri kita, pertanyaannya sekarang, apakah kita mau menggunakan kemudahan-kemudahan yang kita miliki ini untuk mengalami perjumpaan dengan siapapun? Terlebih lagi bila perjumpaan itu membawa perubahan, tidak hanya bagi diri kita sendiri, tetapi juga bagi semesta, betapa beruntungnya diri kita bila dapat melakukan itu dalam kehidupan kita.
KrisD (Cermin - Warta Jemaat, 18 Nopember 2018)