
Berkarya Teguh dalam Usia Muda
Grandprix Thomryes Marth Kadja. Namanya tidak termasuk lazim bagi masyarakat Indonesia. Ternyata prestasinya juga tidak lazim. Ia seorang mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) yang berusia 24 tahun. Namun dalam usia itu ia telah memperoleh gelar doktor (S3). Capaian ini dicatat dalam rekor MURI dan membuat orang kagum melihat kiprahnya. Kagum, sekaligus kaget, karena ternyata anak bangsa ini juga mempunyai potensi hebat yang layak dibanggakan.Grandprix Thomryes Marth Kadja. Namanya tidak termasuk lazim bagi masyarakat Indonesia. Ternyata prestasinya juga tidak lazim. Ia seorang mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) yang berusia 24 tahun. Namun dalam usia itu ia telah memperoleh gelar doktor (S3). Capaian ini dicatat dalam rekor MURI dan membuat orang kagum melihat kiprahnya. Kagum, sekaligus kaget, karena ternyata anak bangsa ini juga mempunyai potensi hebat yang layak dibanggakan.
Budaya Minta Maaf
Konon kata orang, ada tiga kata ajaib di dunia ini, yaitu “Minta tolong, terima kasih, dan minta maaf”. Biasanya yang ajaib adalah sesuatu yang tidak lazim, yang jarang terjadi, dan langka untuk dilihat dan dialami. Dan sesuatu yang tidak lazim, jarang, dan langka pada umumnya layak untuk dilestarikan agar tidak punah. Tetapi siapa bilang ketiga kata ajaib ini „barang‟ langka? Lihatlah budaya dan masyarakat Jepang! Mereka akan sangat mudah mengatakan ketiga hal ini dalam berbagai kesempatan. Di sana, karakter yang mengakar kokoh adalah mengucapkan kata maaf (gomen na sai), terima kasih (doumo arigatou gozaimasu) dan permisi (sumimasen). Atau, masih ingatkah Saudara tentang tokoh „Mpok Minah‟ dalam sebuah sinetron yang selalu mengatakan “Maaf” sebagai kata pembuka dalam setiap dialognya? Tapi bagaimana dengan kenyataan dan budaya kita kini dan di sini?Konon kata orang, ada tiga kata ajaib di dunia ini, yaitu “Minta tolong, terima kasih, dan minta maaf”. Biasanya yang ajaib adalah sesuatu yang tidak lazim, yang jarang terjadi, dan langka untuk dilihat dan dialami. Dan sesuatu yang tidak lazim, jarang, dan langka pada umumnya layak untuk dilestarikan agar tidak punah. Tetapi siapa bilang ketiga kata ajaib ini „barang‟ langka? Lihatlah budaya dan masyarakat Jepang! Mereka akan sangat mudah mengatakan ketiga hal ini dalam berbagai kesempatan. Di sana, karakter yang mengakar kokoh adalah mengucapkan kata maaf (gomen na sai), terima kasih (doumo arigatou gozaimasu) dan permisi (sumimasen). Atau, masih ingatkah Saudara tentang tokoh „Mpok Minah‟ dalam sebuah sinetron yang selalu mengatakan “Maaf” sebagai kata pembuka dalam setiap dialognya? Tapi bagaimana dengan kenyataan dan budaya kita kini dan di sini?
"Menghakimi"
Alkisah ada seorang pencuri tertangkap dan dibawa kepada raja. Raja memerintahkan agar pencuri itu digantung. Menjelang eksekusi, ia ditanya, apakah ada yang ingin dikatakan untuk terakhir kali sebelum hukuman dilaksanakan. Pencuri itu menjawab, "Ketahuilah raja, bahwa saya dapat menanam biji apel yang bisa tumbuh dan berbuah dalam satu malam saja, sayang kalau pengetahuan ini mati bersama saya." Raja kemudian menunda acara eksekusi untuk memberi kesempatan kepada si pencuri membuktikan ucapannya.Alkisah ada seorang pencuri tertangkap dan dibawa kepada raja. Raja memerintahkan agar pencuri itu digantung. Menjelang eksekusi, ia ditanya, apakah ada yang ingin dikatakan untuk terakhir kali sebelum hukuman dilaksanakan. Pencuri itu menjawab, "Ketahuilah raja, bahwa saya dapat menanam biji apel yang bisa tumbuh dan berbuah dalam satu malam saja, sayang kalau pengetahuan ini mati bersama saya." Raja kemudian menunda acara eksekusi untuk memberi kesempatan kepada si pencuri membuktikan ucapannya.