Sakit
Beberapa hari terakhir ini saya sakit gigi. Rasanya mengganggu sekali. Aktivitas sehari-hari terhambat. Susah makan, susah tidur, susah ngomong. Gusi jadi bengkak, meradang akibat infeksi. Memang benar kata orang, “Sakit gigi sungguh menyiksa diri; lebih sakit ketimbang sakit hati.”Sakit gigi memang tidak mengenakkan. Namun masih untung, ia bisa dirasa-kan langsung sehingga membuat saya lekas mencari dokter dan siap minum obat yang diresepkannya. Coba kalau sakitnya tidak terasa secara langsung, bisa-bisa saya diam-diam saja, tak berusaha mencari penyembuhnya.
Dalam hidup ini ada juga penyakit yang tidak secara langsung terasa oleh penderitanya. Misalnya kanker stadium awal. Sang penderita bisa bersikap tenang-tenang saja jika penyakitnya belum terdiagnosis oleh dokter. Namun sesungguhnya ada yang sedang menggerogoti keamanan dirinya. Ini bahaya.
Secara teologis, sesungguhnya kita tergolong ciptaan yang sakit. Apa pasal? Kita hidup dengan dosa di dalam diri. Dosa itu – sama seperti penyakit – menggerogoti keamanan dan keselamatan kita. “Sebab upah dosa ialah maut …” (Roma 6.23), demikian Paulus menuliskannya.Sekalipun berbahaya, belum tentu semua orang menyadarinya. Ada yang merasakan kehadiran dosa – yang sesungguhnya menyakitkan – tapi ada juga yang tidak. Bagi yang menyadarinya, tindakannya bisa dipenuhi keinginan meninggalkannya sebisa mungkin, entah melalui doa yang tekun, ibadah yang rutin, berbuat baik sebanyak mungkin, atau berbagai cara lain. Bagi yang tidak, dosa terasa biasa-biasa saja; tidak mengganggu, dan karenanya tidak perlu disikapi secara serius.Jika kita merasakan dampak dosa, kita bisa segera mencari dokter dan men-gobatinya. Dalam kamus kekristenan, dokter yang bisa mengobati dosa kita hanyalah Tuhan Yesus. Dialah satu-satunya penebus hidup kita. Begitulah yang dicatat dalam kesaksian Paulus yang menyatakan, “Tetapi syukur kepa-da Allah, yang telah memberikan kepada kita kemenangan oleh Yesus Kristus, Tuhan kita.”(1 Korintus 15.57). jika kita hidup dalam Dia, maka kita akan menerima hidup kekal (disembuhkan dari dosa)
Jika kita tidak merasa berdosa – ini bahaya – maka kita akan mendiamkan diri dan terlena dalam kenyamanan hidup yang semu. Kita tidak berbuat apa-apa dan tinggal menunggu bom waktu yang dapat menghancurkan hidup kita. Sebaiknya kita bersyukur ketika merasa berdosa, supaya kita dapat memperbaiki diri melalui pertolongan Tuhan Yesus.
YeeNWe (Warta Jemaat, 25 Februari 2018)