“Life Must Go On”
Renungkanlah contoh berikut ini: Suatu kali Anda dan saya saling bertabrakan di jalan raya. Bagi saya, peristiwa itu tidak hanya menimbulkan luka parah, tetapi juga kenyataan yang pahit dan penyesalan. Saya mungkin akan berlarut-larut berpikir, “Kecelakaan itu mengubah segalanya. Sekarang saya cacat dan hidup saya menjadi susah.” Anda pun mengalami kemalangan yang sama. Anda terluka parah dan tubuh Anda jadi catat, tetapi Anda berpikir dan berkata, “Mungkinkah ini kesempatan untuk mempelajari sesuatu yang baru, kesempatan untuk membuat kecacatan saya menjadi kesaksian bagi orang lain?”
Dalam perjalanan hidup ini, salah satu pertanyaan terbesar bukanlah tentang apa yang terjadi pada kita, tetapi justru bagaimana kita akan hidup dan menjalani apa pun yang terjadi. Kita tidak dapat mengubah sebagian besar keadaan hidup kita. Oleh karena itu, pilihan kita kerap kali bukan pada apa yang akan terjadi pada diri kita, melainkan bagaimana kita akan menghadapi perubahan dan keadaan dalam hidup kita. Dengan kata lain: akankah kita menanggapi hidup kita saat ini dengan penyesalan atau dengan rasa syukur? Realita hidup adalah sesuatu yang dapat membuat kita menyesal atau bersyukur. Semuanya bergantung bagaimana cara kita memandangnya. Orang yang bersyukur belajar untuk bersukacita, bahkan di tengah kenangan hidup yang keras dan menyayat, karena mereka tahu bahwa itu merupakan bagian persiapan bagi masa depan.
Jika rasa syukur kita untuk masa lalu tidak penuh, harapan kita bagi masa depan juga tidak penuh. Selama kita masih jengkel terhadap hal-hal yang kita harapkan tidak terjadi, terhadap hubungan yang tidak berjalan seperti yang kita inginkan, kesalahan-kesalahan yang kita harap tidak pernah kita lakukan; sebagian hati kita tetap terkungkung, tidak mampu berbuah di dalam hidup baru yang membentang di hadapan kita.
Jika kita ingin benar-benar siap untuk sebuah hidup baru di dalam pelayanan kepada Allah, benar-benar bersukacita atas kemungkinan pengungkapan panggilan Allah untuk hidup kita, benar-benar bebas untuk dikirim ke mana pun Allah menuntun, maka seluruh masa lalu kita yang dikumpulkan dalam luasnya sebuah hati yang telah diubahkan, harus menjadi sumber kekuatan yang mendorong kita untuk maju menuju masa depan yang penuh harapan.
deonata'19 (Cermin - Warta Jemaat, 16 Juni 2019)