Gembira Sesaat?
Pemilu edisi tahun ini memperlihatkan suasana yang meriah. Warga Negara Indonesia berduyun-duyun dengan antusiasme tinggi mendatangi TPS-TPS. Tidak saja demi menyumbangkan suara bagi pemerintahan 5 tahun mendatang, tapi juga diisi dengan ajang silaturahmi. Ada yang bertemu dengan orang yang sudah lama tidak dijumpai, ada yang bercengkrama ramah dengan tetangga dari lingkungan sekitar, dan banyak pemandangan indah lainnya terekam dalam benak masyarakat. Ada yang datang dan setelah mencoblos langsung meninggalkan arena, namun tak sedikit pula yang tetap tinggal dan ngobrol di sana, seraya menantikan proses penghitungan suara. Singkatnya, peristiwa ini mencatatkan kesenangan di hati masyarakat.
Suasana seperti ini layak disandingkan dengan suasana keluarga yang merayakan pernikahan kerabatnya. Wajah semringah dan penuh senyum terpancar dari orang-orang yang menjalaninya, terutama pengantin yang baru diberkati dalam ibadah di gereja. Atau bisa saja seperti orang yang baru dinyatakan sembuh dari penyakit dan keluar dari RS atau masa perawatan. Muka penuh dengan kegirangan terlihat karena lepas dari ketakutan dan bayangan mengerikan yang ditimbulkan oleh penyakit tersebut.
Tentu momentum kegembiraan ini menyenangkan. Akan tetapi ia juga perlu dijaga agar tidak hanya menghadirkan kebaikan sementara. Apa gunanya kita menikmati suasana pencoblosan yang tenang dan penuh keakraban, jika kemudian wajah pemerintahan ke depan diisi dengan kerusuhan, pertikaian, protes keras, bahkan anarkisme di mana-mana? Bukankah kita mendambakan iklim sejuk seperti suasana pemilu kemarin berlangsung terus dan bertahan sepanjang perjalanan hidup berbangsa kita? Jika itu harapan kita, bukankah kita juga dipanggil mengusahakan-nya, alias tidak diam saja dalam penantian dan sikap pasif, apalagi dalam euforia berlebihan dan takabur?
Hal serupa kita alami sehubungan dengan pembebasan diri kita dari dosa. Kala mengetahui dan percaya bahwa Yesus mati dan bangkit demi menyelamatkan kita, hati kita bersorak girang. Pengharapan akan hidup kekal terbuka bagi kita. Kita bergembira dan bersenang. Akan tetapi itu baru permulaan saja. Kita harus menjaga agar kegembiraan itu tidak berubah menjadi kesedihan. Tak mengheran-kan Rasul Paulus mengingatkan, “ … tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar …” (Filipi 2.12)
Paskah yang kita rayakan hari ini juga membuat hati kita berbunga. Penuh dengan sukacita. Kita pun merayakannya dengan makan roti dan minum anggur dalam peringatan Perjamuan Kudus. Namun akankah kegembiraan ini berlangsung terus, sampai akhir hidup kita? Kita diberi kesempatan ikut memperjuangkannya agar apa yang sudah dipercayakan dan diserahkan kepada kita tidak terlepas di kemudian hari. Selamat berjuang!
YeeNWe (Cermin - Warta Jemaat, 21 April 2019)