Dibaptis Dan Sidi: Selesesaikah ?

Written by GKI Serpong on . Posted in Cermin

“Saya mau menikah, makanya saya ikut kelas katekisasi”, ujar seorang calon katekisan. Yang lain berkata, “Saya ikut katekisasi karena mama dan papa yang menyuruh! Saya sendiri tidak tahu sebenarnya untuk apa ikut”. Sementara seorang remaja lain, berujar, “Saya ingin jadi orang baik dan dapat lebih mengenal Yesus, sebab selama ini saya malas ke gereja!”. Itulah sebagian percakapan yang ‘terekam’ dari beberapa calon peserta katekisan kurang lebih satu tahun yang lalu. Dari percakapan tersebut jelas sekali ada pemahaman yang kurang tepat –kalau tidak mau disebut keliru- tentang katekisasi. Katekisasi sering dipahami hanya sebagai prasyarat untuk seseorang masuk menjadi anggota gereja. Karena itu, tidak mengherankan jika seorang peserta –katekisan- hanya rajin memelajari bahan katekisasi sebelum ia dibaptis atau sidi. Dan setelah itu ia berhenti belajar atau yang lebih parah lagi tidak mau datang lagi ke gereja atau terlibat aktif dalam pelayanan. Baru ‘muncul’ lagi ketika ia menikah atau membaptiskan dan menikahkan anaknya.

Katekisasi sebenarnya merupakan semacam ‘pemanasan’ sebelum seseorang masuk dalam kancah –pertandingan- kekristenan yang sesungguhnya. Mirip seperti yang dilakukan oleh seorang atlet sebelum ia bertanding. Atau yang biasa kita lakukan pada kendaraan bermotor, sebelum kita menjalankannya. Semuanya memerlukan pemanasan! Tanpa pemanasan, seorang atlet bisa mengalami persoalan ketika bertanding. Begitu juga yang bisa terjadi pada mesin kendaraan bermotor. Pemanasan sangat penting sebagai persiapan menuju kegiatan yang sesungguhnya. Kendati sebagai pemanasan, proses pembelajaran di dalam kelas katekisasi tidak boleh dianggap sepele atau formalitas belaka. Sebab katekisasi bertujuan untuk memersiapkan dan membekali seseorang dengan dasar-dasar iman Kristen. Yang namanya ‘bekal’ berarti sesuatu yang menjadi perlu dan vital ketika kita sungguh-sungguh memerlukan atau menggunakannya. Yang namanya ‘dasar-dasar’ berarti masih proses awal, bukan akhir!

Hakekat katekisasi adalah belajar mengenal dan memerbaharui hidup. Katekisasi (Yun. ‘katekhein’) secara harfiah berarti menggemakan atau membuat suara berbunyi bertalu-talu atau menyuarakan dari atas ke bawah.

Dengan kata lain, katekisasi berarti menyampaikan pengajaran atau pengetahuan tentang iman Kristen. Namun tujuan katekisasi tentulah tidak sekadar pada pengetahuan tentang Allah. Bukan hanya belajar tentang Allah dan kasih-Nya, tetapi juga agar seseorang dimampukan untuk ‘berbicara’ kepada Allah dengan hati, sehingga terjadi perubahan dan pembaharuan hidup. Kata ‘belajar’ itu sendiri menunjuk bahwa katekisasi sejatinya merupakan proses tiada henti dan terus-menerus, karena pengenalan akan Allah pun tidak akan pernah selesai. Muara dari katekisasi adalah agar seseorang dapat memiliki kedewasaan iman. Orang yang dewasa akan memiliki kesadaran untuk belajar terus-menerus dan membaharui hidupnya. Dan ini dilakukan atas inisiatif sendiri, bukan karena paksaan! Dilakukan bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk menjadi berkat bagi orang lain dan terlebih bagi kemuliaan Tuhan!

Selama tiga minggu berturut-turut sejak hari Minggu, 10 Maret lalu, kita telah, sedang, dan akan menyaksikan lebih dari sembilan puluh jemaat Tuhan di tempat ini akan dilayankan baptis dewasa dan peneguhan iman percayanya. Yang lebih luar biasa adalah karena pada hari Minggu, 24 Maret yang akan datang akan dilayankan –untuk yang pertama kalinya di jemaat kita- baptis dan sidi untuk tiga orang anak Tuhan yang berkebutuhan khusus. Tentu kita patut bersyukur dan bersukacita karena mereka telah mengawali dan menyelesaikan seluruh proses dan tahap gerejawi dengan baik. Tetapi yang perlu diingat adalah bahwa ini bukanlah akhir, tetapi justru merupakan awal untuk memulai karya dan pelayanan sebagai sesama anggota tubuh Kristus di mana pun kita berada. Selamat melayani, Saudara-saudaraku! Tuhan memberkati hidup dan pelayanan Saudara.


©arsado (Warta Jemaat - Cerimin - Warta Jemaaat, 17 Maret 2019)