Rabu Abu
Bagi sebagian orang, ibadah Rabu Abu mungkin tidak dianggap sebagai sebuah keharusan. Barangkali karena memang dalam Protestan, perayaan Rabu Abu belum terlalu mentradisi. Namun semakin hari semakin terlihat animo warga jemaat menghadiri pelaksanaannya di gereja. Torehan abu yang melambangkan kelemahan manusia menjadi daya tarik yang memikat orang hadir mengikutinya. Namun seiring dengan itu muncul pertanyaan, “Untuk apa semua itu?”
Lambang salib yang dibentuk dari olesan abu (konon ia merupakan hasil bakaran daun palem yang digunakan pada minggu Palmarum tahun sebelumnya, dicampur dengan minyak zaitun) banyak dipamerkan selepas perayaan Rabu Abu. Bentuknya beragam. Mungkin itu sebabnya orang ramai membicarakannya setelah mengikuti ibadah.
Akan tetapi satu hal yang patut direnungkan adalah bagaimana sikap kita setelah itu? Selayaknya sebagai manusia yang lemah (baca: bukan siapa-siapa; bukan apa-apa) kita belajar terus merendah, menjiwai semangat kehadiran Kristus di tengah dunia, sebagaimana dicatat dalam kesaksian Alkitab, “yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan” (Fil 2.6). Ada baiknya kita bertanya, “Bagaimanakah kita bersikap terhadap orang lain?” “Apakah kita memikirkan perasaan orang lain ketika berbicara kepadanya?” “Apakah kita menempatkan diri di atas orang lain kala berhadapan dengannya?”Bukankah kita ini debu, sama seperti orang lain di sekeliling kita?
YeeNWe (Cermin - Warta Jemaat, 10 Maret 2019)