Natal : Damai Sejahtera?
Damai? Siapa yang belum pernah mendengar atau mengenal kata itu? Siapa pula yang tidak ingin mengalami atau mengusahakannya? Semua orang tahu bahwa damai itu indah. Setiap kita pun tahu bahwa damai itu adalah impian, dambaan, dan idaman setiap manusia. Namun tak ada seorang pun yang dapat menyangkal kalau damai itu adalah sesuatu yang masih jauh dari realita dan tidak mudah untuk diwujudkan. Tidak mengherankan, jika cukup banyak orang yang mulai sangsi dan ragu bahwa damai yang sejati bisa sungguh-sungguh hadir dan dirasakan oleh semua orang dan makhluk di dunia ini.Damai? Siapa yang belum pernah mendengar atau mengenal kata itu? Siapa pula yang tidak ingin mengalami atau mengusahakannya? Semua orang tahu bahwa damai itu indah. Setiap kita pun tahu bahwa damai itu adalah impian, dambaan, dan idaman setiap manusia. Namun tak ada seorang pun yang dapat menyangkal kalau damai itu adalah sesuatu yang masih jauh dari realita dan tidak mudah untuk diwujudkan. Tidak mengherankan, jika cukup banyak orang yang mulai sangsi dan ragu bahwa damai yang sejati bisa sungguh-sungguh hadir dan dirasakan oleh semua orang dan makhluk di dunia ini.
Namun seberapa sulit dan beratnya damai yang sejati itu bisa dinikmati oleh seluruh makhluk, Alkitab secara jelas dan tegas mengatakan bahwa damai itu adalah sesuatu yang sangat penting dan berguna dalam membangun dan mengembangkan relasi antar makhluk dan seluruh isi alam semesta ini. Paulus menyebut bahwa damai adalah buah Roh. Injil menyaksikan bahwa damai yang sejati berasal dari Allah dan hanya ada pada Dia. Kristus sendiri datang untuk membawa damai sejahtera (Luk. 2:14). Sebab itu, merupakan panggilan serta tugas tanggung jawab setiap kita sebagai orang beriman dan yang mengaku mengikuti teladan Kristus –sebagai Sang Damai itu sendiri- untuk senantiasa mengupayakan dan membawa damai (Yoh. 14:27). Damai dengan Allah, damai dengan sesama, dan damai dengan diri sendiri.
Dalam khotbah di bukit, Yesus pernah berkata, “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah” (Mat.5:9). Luar biasa! Bayangkan, bahwa status dan kebahagiaan kita bukan ditentukan dari apa yang kita miliki dan capai, tetapi pada cara hidup kita. Status dan kebahagiaan kita tidak terletak pada apa yang kita miliki: seperti harta, kekayaan, atau keluarga. Pun tidak ditentukan dari apa yang kita raih dan capai: seperti prestasi dan jabatan. Status dan kebahagiaan kita justru mendapat makna melalui cara hidup kita yang mau dan mampu menghadirkan damai. Menjadi ‘Agent of Peace’. Tanpa kedamaian kebahagiaan mustahil tercipta. Dan tanpa kebahagiaan hidup tidak akan sejahtera, terasa hambar dan sia-sia.
Bukankah salah satu pesan dan berita utama Natal juga adalah hidup dalam damai? Damai yang sudah kita terima dari Kristus itu jangan kita simpan atau kita nikmati untuk diri sendiri, melainkan untuk kita bagikan dan tularkan kepada sesama. Merupakan panggilan yang harus kita kumandangkan terus-menerus secara universal; di mana saja, kapan pun, dan sebagai apa pun kita berada. Lalu bagaimana secara konkret agar damai itu menjadi sesuatu yang bisa kita upayakan dan hadirkan, dan tidak sebatas pada retorika, slogan, dan harapan saja? Sedikitnya ada tiga aspek yang berkaitan dengan damai. Pertama, penerimaan. Damai berarti kita mau dan rela menerima orang lain –termasuk diri kita sendiri- apa adanya dengan segala kelebihan dan kekurangannya, Berupaya untuk tidak mengenakan standar, ukuran, atau pun kacamata kita terhadapnya. Atau yang lebih parah memaksa orang lain seperti yang kita harapkan. Satu lagi yang tidak kalah penting adalah menerima semua situasi dan kondisi yang tidak bisa kita hindari. Sesuatu yang berada di luar kekuasaan dan kemampuan kita. Yang mau tidak mau, suka tidak suka, cepat atau lambat harus kita alami dan terima, seperti: sakit, usia lanjut, dan bahkan kematian.
Kedua, damai berkaitan dengan pengampunan. Dan ini harus pertama-tama ditujukan kepada diri kita sendiri. Dengan menyadari, menyesal, dan kemudian berbalik kepada-Nya. Seberapa pun besar dan banyak dosa atau kesalahan kita, selalu saja ada harapan bahwa Dia mengampuni asal kita sungguh-sungguh mau bertobat (bdk. Yes. 1:18). Pengampunan juga harus kita berikan kepada orang lain yang telah berbuat kesalahan kepada kita. Memang sulit, namun bukan berarti tidak bisa. Jika kita hendak hidup dalam damai, maka pengampunan adalah mutlak dilakukan. Tidak hanya di mulut dan bibir, tetapi juga dalam tindakan.Konon, Martin Luther -sang reformator gereja- saat menjadi rahib, pernah mengalami kesulitan untuk mengucapkan Doa Bapa Kami. Masalahnya bukan karena ia kesulitan untuk menghafal dan melafalkan Doa Bapa Kami, tetapi sesuatu yang bersifat psikologis dan teologis. Dia mengalami kesulitan untuk membayangkan Allah sebagai seorang “Bapa”. Setiap kali ia mengucapkan “Bapa kami yang di sorga”, ia langsung teringat sikap ayahnya yang bernama Hans Luther. Tampaknya sang ayah telah mendidik Luther dengan sikap kasar dan melukai hatinya begitu dalam. Luther rupaya telah tergores cukup dalam atas sikap dan perilaku ayahnya. Luka-luka batin itulah yang merusak persepsinya tentang sosok ayah. Di alam bawah sadarnya, terbentuklah sosok ayah yang negatif, termasuk gelar Allah sebagai Bapa.
Ketiga, bicara damai maka tidak bisa dilepaskan dari kasih. Konon di Jepang ada sebuah penelitian terhadap kaum ibu yang senang memelihara tanaman dan hewan peliharaan. Hasilnya mereka merasa lebih damai dan bahagia. Hal ini disebabkan karena mereka memandang hidup dengan cinta. Memandang sekitar kita dengan cinta –pada pekerjaan, pelayanan, keluarga, sesama, dan alam- pasti akan berbeda tatkala kita memandangkan justru dengan kekesalan dan kegeraman. Cinta kasihlah yang menyembuhkan dan memulihkan, serta mampu mengubah dukacita menjadi sukacita. Cinta kasih itu pula yang mampu merangkul dan membaharui setiap insan manusia. Ingat bahwa salah satu misi utama kelahiran Yesus adalah untuk membawa damai. Misi itu tidak berakhir setelah Ia naik ke sorga. Misi itu harus terus berlanjut melalui hidup serta diri kita sebagai pengikut-Nya dalam wujud menerima, mengampuni, dan mengasihi sesama. Dan itu bisa kita mulai dari orang yang terdekat dengan kita. Di sini dan kini! Selamat menyambut dan merayakan Natal dan Damai Kristus, saudaraku!
© arsado (Cermin - Warta Jemaat, 23 Desember 2018)