Mengenang Dikau, Wahai Pahlawan

Written by GKI Serpong on . Posted in Cermin

Saya yakin sedikit sekali –bahkan hampir tidak ada- orang yang keberatan jika ia disebut sebagai pahlawan. Tentu ada perasaan bangga, dihormati, dan dihargai. Serasa tidak sia-sia semua jasa dan pengorbanan yang sudah dilakukannya untuk bangsa dan orang lain. Memang, ada saja segelintir orang yang tidak (atau belum) bersedia menyandang predikat pahlawan karena alasan tertentu. Penyebabnya bisa saja karena ia sendiri merasa tidak/belum layak atau karena ia menyadari bahwa predikat pahlawan yang dikenakan kepadanya hanya faktor belas kasihan atau sekedar balas jasa. Atau yang lebih parah lagi sebagai julukan untuk melecehkan. Contohnya adalah istilah ‘pahlawan kesiangan’ untuk menyebut mereka yang sok jadi pahlawan. Kata ‘pahlawan’ berasal dari bahasa Sansekerta ‘phala’ yang bermakna hasil atau buah. Konon kata ‘pahlawan’ juga berasal kata ‘pahala-wan’, yang berarti orang yang berbuat pahala, jasa, atau kebaikan bagi sesama. Dengan kata lain, seseorang baru dapat dikatakan sebagai pahlawan jika ia berani berjuang membela kebenaran dan keadilan, bahkan berani mengorbankan nyawanya demi kebaikan dan kepentingan banyak orang, bangsa dan negara.Saya yakin sedikit sekali –bahkan hampir tidak ada- orang yang keberatan jika ia disebut sebagai pahlawan. Tentu ada perasaan bangga, dihormati, dan dihargai. Serasa tidak sia-sia semua jasa dan pengorbanan yang sudah dilakukannya untuk bangsa dan orang lain. Memang, ada saja segelintir orang yang tidak (atau belum) bersedia menyandang predikat pahlawan karena alasan tertentu. Penyebabnya bisa saja karena ia sendiri merasa tidak/belum layak atau karena ia menyadari bahwa predikat pahlawan yang dikenakan kepadanya hanya faktor belas kasihan atau sekedar balas jasa. Atau yang lebih parah lagi sebagai julukan untuk melecehkan. Contohnya adalah istilah ‘pahlawan kesiangan’ untuk menyebut mereka yang sok jadi pahlawan. Kata ‘pahlawan’ berasal dari bahasa Sansekerta ‘phala’ yang bermakna hasil atau buah. Konon kata ‘pahlawan’ juga berasal kata ‘pahala-wan’, yang berarti orang yang berbuat pahala, jasa, atau kebaikan bagi sesama. Dengan kata lain, seseorang baru dapat dikatakan sebagai pahlawan jika ia berani berjuang membela kebenaran dan keadilan, bahkan berani mengorbankan nyawanya demi kebaikan dan kepentingan banyak orang, bangsa dan negara.

Kemarin hari Sabtu tanggal 10 November, bangsa kita kembali merayakan Hari Pahlawan untuk mengenang dan menghargai jasa pahlawan bangsa yang telah berjuang dan berkorban untuk kemerdekaan bangsa tercinta ini. Hari nasional yang ditetapkan sejak tahun 1959 ini awalnya untuk memperingati pertempuran Surabaya di mana kala itu tentara Indonesia sedang berjuang mempertahankan kemerdekaan dari kekuatan dan kekuasaan bangsa asing yang mencoba merebut kembali kemerdekaan bangsa kita yang baru saja dikumandangkan beberapa bulan sebelumnya. Sudah barang tentu mereka yang disebut pahlawan tidak hanya terbatas pada mereka yang berjuang untuk kemerdekaan. Paling tidak itulah yang disinyalir oleh survey yang dilakukan sebuah surat kabar nasional baru-baru ini. Menarik bagaimana gambaran soal pahlawan berubah seiring berkembangnya zaman. Tidak mengherankan jika anak-anak zaman ‘now’ tersebut memiliki pandangan tersendiri yang berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya. Imajinasi kaum milenial kini lebih banyak dijejali oleh sosok pahlawan super ketimbang pahlawan nasional. Mereka jauh lebih cepat dan tepat mengingat dan menyebutkan pahlawan super hasil rekaan industri film daripada tokoh atau pahlawan nasional. Bagi generasi ‘Z’ pahlawan tidak lagi identik dengan pejuang kemerdekaan, tetapi lebih kepada mereka yang berjuang untuk kesejahteraan dan kebenaran.

Di dalam Alkitab, khususnya surat Ibrani –pasal 11-, menyebut dan memunculkan beberapa tokoh Alkitab yang dikenal sebagai saksi atau pahlawan iman: seperti Abraham, Ishak, Yakub, Yusuf, dan Musa. Di sana diperlihatkan teladan iman para bapak leluhur Israel yang menjadi pelajaran iman bagi kita sekarang. Kita terus-menerus diingatkan bahwa Allah yang kita sembah terbukti setia dan berkuasa atas hidup manusia yang percaya kepada-Nya. Di satu sisi, penulis Ibrani hendak mengatakan bahwa iman itu sangat penting. Namun di sisi yang lain, sang penulis juga mau mengatakan bahwa betapa sulitnya hidup beriman itu. Layaknya sebagai seorang pejuang, orang yang beriman harus berani berjuang menentang ketidakadilan dan ketidakbenaran. Ia harus berani melawan arus, bahkan mesti menekan dan mengalahkan –ego- diri sendiri yang kerap kali bertentangan dengan kehendak Tuhan.

Memang sang penulis hanya menceritakan sekelumit saja tentang tindakan para pahlawan iman tersebut. Akan tetapi, sang penulis mengingatkan para pembacanya untuk mengenang peristiwa masa lalu, serta sekaligus berusaha untuk membangkitkan keberanian dan rasa tanggung jawab sebagai orang beriman yang mengaku percaya Yesus Kristus. Para pahlawan iman itu sesungguhnya menjalani hidup yang berat dan penuh derita, bahkan mereka mati sebelum janji-janji Allah terwujud secara sempurna. Luar biasanya, mereka toh tetap berpegang teguh di dalam iman dan pengharapannya akan janji Allah. Bagi kita sekarang, itu berarti kita diingatkan bahwa tidak perlu bercita-cita untuk dikebumikan di makam pahlawan atau disebut serta dikenang sebagai pahlawan. Tetapi mulailah hidup dengan berguna, dan bercita-citalah untuk mati dengan bermakna. Sebab sikap inilah yang melahirkan pahlawan-pahlawan kehidupan yang sebenarnya. Singkatnya, seperti kata mutiara: ketika lahir, sendirian menangis, semua orang tertawa. Ketika mati semua orang menangis, ia sendiri tersenyum lega. Atau seperti apa kata rasul Paulus kepada jemaat Filipi: “Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.” (Filipi 1:21).


©arsado (Cermin - Warta Jemaat, 11 November 2018)