Antara yang Asli, Aspal, dan Palsu
Barangkali Saudara pernah menyaksikan atau setidaknya mengetahui dan mengingat sebuah program acara variety show di salah satu stasiun TV swasta beberapa waktu lalu, yang berjudul ‘Asal’, singkatan dari Asli atau Palsu. Acara ini menghadirkan sosok beberapa peserta yang mirip dengan artis atau tokoh tertentu. Kemudian membandingkan serta mempertunjukkan kemiripan peserta tersebut dengan artis atau tokoh tertentu itu. Lucu dan menarik memang, karena sepintas kita akan mengalami kesulitan dan kebingungan untuk bisa menebak mana artis atau tokoh yang asli dengan yang palsu. Saya menduga hanya orang-orang dekat atau mereka yang sudah mengenal dan sering bergaul dengan sang artis atau tokoh tersebut yang mampu dengan cepat dan tepat membedakan yang asli dengan yang bukan.
Ironisnya dalam dunia keseharian kita pada zaman ‘now’ ini, bukan hanya orang yang sulit untuk kita bedakan, tetapi hampir dalam banyak hal, kita sulit membedakan mana yang asli dan mana yang palsu. Konon zaman kita sekarang adalah zaman edan, di mana segala sesuatu sudah ada imitasi atau ‘KW’-nya, sehingga muncullah istilah ‘Aspal’ (=asli tapi palsu). Kalau beberapa dasawarsa yang lampau, kita hanya mendengar kasus pemalsuan seputar ijazah atau uang, maka trend masa kini pemalsuan sudah merambah sampai ke produk-produk makanan, kosmestik, dan bahkan informasi. Masih ingatkah Saudara, beberapa dekade silam, dalam sehari kita bisa mendapat puluhan pesan melalui sms yang berisi pemenang undian, atau dari seseorang –yang mengaku saudara atau keluarga kita- yang meminta pulsa kepada kita. Lebih tragis lagi, bahwa pemalsuan kini juga sudah merusak dan merasuk kehidupan rohani. Ada Alkitab palsu, Gereja palsu, dan Pendeta palsu! Sebenarnya, tidak terlalu tepat kalau fenomena ini baru ada belakangan ini. Rasul Paulus dan Rasul Petrus sendiri dalam tulisannya sering mengingatkan jemaat akan adanya bahaya yang mengancam kehidupan iman mereka karena menjamurnya ajaran sesat dan nabi-nabi palsu.
Pertanyaan adalah bagaimana kita bisa membedakan ajaran yang benar dan nabi yang asli dengan yang bukan? Kalau untuk uang tentu gampang. Tinggal melakukan 3 D: dilihat, diraba, dan diterawang! Kalau ijazah? Lihatlah cap, stempel, tanda tangan, nomor serinya atau bila mungkin langsung mengecek di mana dan kapan ijazah itu dikeluarkan. Tapi bagaimana dengan sebuah ajaran? Tentu ini jauh lebih sulit ketimbang membedakan uang atau ijazah asli dengan yang palsu. Kesulitan kita semakin bertambah tatkala kita tahu bahwa ajaran yang palsu kadang lebih menarik daripada yang asli. Sama seperti kita melihat hasil foto kopi yang bisa kelihatan lebih baik dari aslinya.
Atau hasil editan foto yang lebih bagus ketimbang wajah aslinya. Bukankah mengenai ajaran dan nabi-nabinya juga sering seperti itu -walau tidak selalu demikian-? Ajaran sesat justru bisa lebih menarik dan memuaskan telinga serta cocok di selera ketimbang ajaran yang benar. Atau nabi palsu yang lebih memikat dan populer dari yang palsu. Alkitab sendiri pernah memberi contoh bagaimana nabi Hananya yang palsu, jauh lebih berhasil memikat massa dari pada nabi Yeremia yang asli.
Satu-satunya cara untuk bisa menentukan ajaran yang benar adalah dengan mengujinya. 1 Yoh. 4:1-2, mengatakan, “Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah percaya akan setiap roh, tetapi ujilah roh-roh itu, apakah mereka berasal dari Allah; sebab banyak nabi-nabi palsu yang telah muncul dan pergi ke seluruh dunia. Demikianlah kita mengenal Roh Allah; setiap roh yang mengaku bahwa Yesus Kristus telah datang sebagai manusia berasal dari Allah.” Di sini Alkitab mengajarkan sebuah cara atau metode yang amat penting. Yaitu, ketika kita bertanya, mana yang asli dan mana yang palsu, maka ia tidak –sekali lagi tidak- membuat sebuah daftar hitam tentang yang mana yang palsu. Yang dilakukan Alkitab adalah menunjukkan yang benar dan yang asli. Hanya setelah kita mengetahui apa yang benar, kita akan mengetahui apa yang palsu.
Apa itu yang asli dan yang benar? Pengakuan dan ajaran bahwa Yesus telah datang sebagai manusia. Bahwa Allah telah memilih jalan kerendahan, jalan penderitaan, jalan salib, untuk menyelamatkan manusia. Sebenarnya, bisa saja Allah memilih jalan yang mudah: jalan mujizat dan kuasa. Tapi, jalan yang mudah itu bukanlah jalan Allah. Sebab itu, siapa pun yang mengatakan jalan hidup orang Kristen adalah jalan yang mudah, ia tidak berasal dari Allah. Jalan kita adalah jalan yang benar, bukan jalan yang mudah, bukan jalan yang gampang, apalagi gampangan!
©arsado (Cermin - Warta Jemaat, Mei 2018)