‘Bolu’ : Penyakit Zaman ‘Now’?!
Ada sebuah lagu sekolah minggu yang dikenal dan populer di kalangan anak sekolah minggu hingga saat ini. Sebagian lirik lagunya berbunyi sebagai berikut: “Hati-hati gunakan mulutmu - Amin. Karena Bapa di Sorga melihat ke bawah. Hati-hati gunakan mulutmu - Amin!”. Lagu ini sesungguhnya mau mengajak anak-anak sejak dini dan kita semua untuk secara bijak dan benar mengeluarkan setiap perkataan yang keluar dari mulut kita. Sebab apa? Sebab perkataan yang kita keluarkan tidak mungkin bisa kita tarik atau kembalikan lagi. Lagipula, sesingkat atau sedikit apa pun perkataan kita akan berdampak bagi orang lain, sekaligus menunjukkan kepribadian dan karakter kita.
Pernah dikisahkan tentang seorang pendeta yang berkata kepada jemaatnya, “Minggu depan saya berencana berkhotbah tentang dosa berbohong. Untuk membantu Saudara memahami khotbah, saya ingin Saudara semua membaca lebih dahulu Markus pasal 17.” Minggu berikutnya, saat pendeta siap menyampaikan khotbahnya, ia meminta jemaat yang telah membaca Markus 17 untuk mengangkat tangan. Ia ingin tahu berapa banyak jemaat yang telah membaca Markus pasal 17. Sebagian jemaat mengangkat tangan. Pendeta tersenyum dan berkata, “Injil Markus hanya memiliki 16 pasal. Maka sekarang saya akan memulai khotbah saya tentang dosa berbohong!”.
Dosa berbohong sebenarnya adalah penyakit setiap kita pada semua usia di sepanjang zaman dan peradaban, tanpa terkecuali. Sebuah survei terbatas yang pernah dilakukan di salah satu negara di Eropa terhadap 3.000 orang beberapa tahun lalu, merilis bahwa rata-rata seorang pria berbohong 3 kali dalam sehari dan perempuan 2 kali dalam sehari. Ironisnya, dosa berbohong kini tidak hanya menjangkiti orang yang sudah dewasa, tetapi juga dapat menyerang anak-anak yang identik dengan kepolosan dan keluguannya. Bahkan penyakit berbohong yang dilakoni anak-anak kini disandingkan dengan penyakit lainnya yaitu penyakit lupa. Ya, penyakit ‘BOLU’ (akronim dari kata ‘bohong’ dan ‘lupa’) kini bisa jadi menjadi penyakit ‘primadona’ zaman ‘now’.
Lupa memang bisa terjadi secara alamiah karena faktor usia, namun lupa juga bisa terjadi karena faktor kesengajaan untuk menutupi kebohongan atau menyembunyikan kesalahan. Lupa acapkali dijadikan sebagai ‘senjata’ untuk membenarkan kesalahan kita dan juga untuk menghindari sesuatu yang ingin kita sembunyikan. Bukankah sering kita lihat, jumpai, dan alami sendiri bagaimana beberapa orang akan mengatakan lupa ketika ia tidak datang atau datang terlambat pada pertemuan yang sudah disepakati bersama, atau ketika ia tidak menempati janjinya, atau ketika ia tidak mengerjakan atau membawa sesuatu yang seharusnya sudah menjadi tanggung jawabnya. Ini pula yang mungkin menyebabkan seorang terdakwa atau saksi dalam sebuah sidang pengadilan akan lebih memilih berkata lupa ketimbang ia harus berbohong. Lupa dijadikan sebagai senjata sakti dan ‘pamungkas’ tanpa rasa bersalah.
Dalam salah satu perintah Allah kepada umat Israel di dalam Perjanjian Lama adalah, “Jangan mengucapkan saksi dusta terhadap sesamamu manusia”. Mengucapkan saksi dusta di sini bisa dimaknai dalam pengertian mengucapkan kebohongan, menyatakan ketidakbenaran, atau dengan sengaja tidak mengatakan apa yang sebenarnya kita ketahui alias menyembunyikan kebenaran. Minggu ini tema kita berbicara tentang menjadi komunitas yang bersaksi. Bersaksi tentang Injil Yesus Kristus yang mati dan bangkit bagi kita. Bersaksi tentang Yesus Kristus yang sampai sekarang tetap hidup dan hadir untuk menuntun dan menyertai perjalanan hidup dan iman kita. Bersaksi berarti tidak boleh diam atau asal bicara. Bersaksi harus berbicara, tetapi berbicara dengan benar dan tentang kebenaran. Bersaksi melalui seluruh –sikap- hidup kita yang mencerminkan dan menunjukkan Kristus yang bangkit. Sudahkah kita bersaksi memberitakan kabar sukacita itu kepada sesama? Mari kita mulai dari komunitas yang paling dekat dengan kita: keluarga, gereja, pekerjaan, dan tempat tinggal kita!
© arsado (Cermin - Warta Jemaat, 15 April 2018)