Minggu yang paradoks
Jika kita mengikuti kalender gerejawi, hari ini adalah Minggu yang paradoks; minggu dengan dua sebutan: Di satu sisi adalah Minggu Palma; kita mengenang Yesus dimuliakan oleh orang banyak ketika Dia memasuki kota Yerusalem sebagai seorang Raja yang membawa damai sejahtera karena Dia menunggang keledai muda. Di sisi yang lain, Minggu ini adalah Minggu Sengsara. Ketika Yesus memasuki kota Yerusalem, maka Minggu ini adalah Minggu terberat dalam hidup-Nya. Dia harus mengalami pengkhianatan, penyangkalan, ditangkap karena sebuah ciuman oleh salah satu Murid-Nya (Yudas), Dia menyaksikan murid-Nya kocar-kacir, Dia digelandang oleh penjaga Bait Allah sebagai penjahat, padahal tiap-tiap hari Dia mengajar di sana, Dia diadili, dan diping-pong ke beberapa pemeriksaan (Mahkamah Agama, Pilatus, Herodes, Pilatus,), Dia disesah, dipukul bahkan diludahi, dan Dia disalibkan.
Inilah hari ini; Minggu Palm Arum atau Minggu Sengsara.
Minggu yang merangkum dua peristiwa yang saling bertolak belakang. Namun, disinilah justru menunjukkan bagaimana sambutan dunia kepada tawaran keselamatan yang Allah berikan? Ketika Yesus dinyatakan sebagai Mesias, maka banyak orang mengelu-elukannya, namun ketika hasutan Mahkamah Agama, dan melihat Yesus yang sebelumnya; ketika memasuki Yerusalem dielu-elukan, dan disambut dengan ranting-ranting dan daun palem – di hadapan Pilatus, mereka lebih memilih Barabas, dan meminta supaya Yesus disalibkan.
Bukankah hidup manusia seringkali juga paradoks? Ketika Firman diberikan; melalui renun-gan, kotbah, dll – maka kita mengangguk-angguk mengatakan betapa benarnya Firman yang Tuhan berikan. Kita juga seringkali memberi warna pada ayat yang menyatakan kebenaran, atau menggarisbawahi ayat-ayat yang menguatkan, meneguhkan, menghibur dan memberi pengertian kepada kita. Dan seberapa banyak Firman yang kita beri warna, kita garis bawahi berlaku dalam hidup kita setiap hari? Ataukah semuanya menjadi luntur ketika berhadapan dengan kenyataan hidup?
Hidup manusia seringkali berlawanan; suka kebenaran namun tidak (mau) melakukan kebenaran. Bahkan lebih suka memakai cara-cara duniawi yang dirasa aman, lebih mudah, lebih cepat, kelihatan lebih benar; daripada menjadi pelaku-pelaku Firman Tuhan; bersabar dan bertekun di dalam dan bersama dengan Tuhan. Karena itu seringkali Firman hanya men-jadi tempelan dan pemanis bibir belaka. Firman yang tidak dimaknai dalam kehidupan setiap hari.
Dalam hal ini, bukankah kita mesti ingat dalam hidup kita oleh penulis kitab Yakobus;
Sebab itu buanglah segala sesuatu yang kotor dan kejahatan yang begitu banyak itu dan terimalah dengan lemah lembut firman yang tertanam di dalam hatimu, yang berkuasa menyelamatkan jiwamu. Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri. Sebab jika seorang hanya mendengar firman saja dan tidak melakukannya, ia adalah seumpama seorang yang sedang mengamat-amati mukanya yang sebenarnya di depan cermin. Baru saja ia memandang dirinya, ia sudah pergi atau ia segera lupa bagaimana rupanya. Tetapi barangsiapa meneliti hukum yang sempurna, yaitu hukum yang memerdekakan orang, dan ia bertekun di dalamnya, jadi bukan hanya mendengar untuk melupakannya, tetapi sungguh-sungguh melakukannya, ia akan berbahagia oleh perbuatannya.
(Yak. 1 : 21 – 25)
Karena itu, jadilah pelaku Firman, dan bukan hanya pendengar saja.
Suka Firman itu baik, tapi terlebih benar melakukan Firman Tuhan dalam hidup kita.
AW (Cermin - Warta Jemaat, 25 Maret 2018)