Budaya Minta Maaf

Written by GKI Serpong on . Posted in Cermin

Konon kata orang, ada tiga kata ajaib di dunia ini, yaitu “Minta tolong, terima kasih, dan minta maaf”. Biasanya yang ajaib adalah sesuatu yang tidak lazim, yang jarang terjadi, dan langka untuk dilihat dan dialami. Dan sesuatu yang tidak lazim, jarang, dan langka pada umumnya layak untuk dilestarikan agar tidak punah. Tetapi siapa bilang ketiga kata ajaib ini „barang‟ langka? Lihatlah budaya dan masyarakat Jepang! Mereka akan sangat mudah mengatakan ketiga hal ini dalam berbagai kesempatan. Di sana, karakter yang mengakar kokoh adalah mengucapkan kata maaf (gomen na sai), terima kasih (doumo arigatou gozaimasu) dan permisi (sumimasen). Atau, masih ingatkah Saudara tentang tokoh „Mpok Minah‟ dalam sebuah sinetron yang selalu mengatakan “Maaf” sebagai kata pembuka dalam setiap dialognya? Tapi bagaimana dengan kenyataan dan budaya kita kini dan di sini?Konon kata orang, ada tiga kata ajaib di dunia ini, yaitu “Minta tolong, terima kasih, dan minta maaf”. Biasanya yang ajaib adalah sesuatu yang tidak lazim, yang jarang terjadi, dan langka untuk dilihat dan dialami. Dan sesuatu yang tidak lazim, jarang, dan langka pada umumnya layak untuk dilestarikan agar tidak punah. Tetapi siapa bilang ketiga kata ajaib ini „barang‟ langka? Lihatlah budaya dan masyarakat Jepang! Mereka akan sangat mudah mengatakan ketiga hal ini dalam berbagai kesempatan. Di sana, karakter yang mengakar kokoh adalah mengucapkan kata maaf (gomen na sai), terima kasih (doumo arigatou gozaimasu) dan permisi (sumimasen). Atau, masih ingatkah Saudara tentang tokoh „Mpok Minah‟ dalam sebuah sinetron yang selalu mengatakan “Maaf” sebagai kata pembuka dalam setiap dialognya? Tapi bagaimana dengan kenyataan dan budaya kita kini dan di sini?

Pernah suatu ketika saya memerhatikan bagaimana seorang gadis yang sedang menunggu makanan yang dipesan di sebuah restoran. Lalu datanglah seorang pramusaji, membersihkan meja dan sekaligus mengantarkan makanan. Tapi tanpa diduga dan disengaja tentunya, sang pramusaji menumpahkan seluruh isi gelas dan membuat basah kuyup pakaian si gadis. Tapi apa yang terjadi kemudian? Tak satu pun ucapan permohonan maaf yang keluar dari mulut sang pramusaji. Juga sampai si gadis dengan marah pergi tanpa jadi makan. Yang lebih ironis adalah sang pramusaji dengan tertawa –karena lucunya- bercerita kepada rekan-rekannya mengenai peristiwa yang baru saja terjadi. Tentu, ini hanya satu dari sekian banyak kisah yang menggambarkan dan mewakili betapa budaya minta maaf itu sudah semakin langka. Mengapa hal ini bisa dan sering terjadi? Karena meminta maaf sering dianggap sebagai tanda kelemahan, kekalahan, dan ketakutan.

Pernahkah Saudara menunggu sebuah alat transportasi yang mengalami keterlambatan atau penundaan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu? Kalau pun ada, tapi tanpa ada sepatah kata pun permohonan minta maaf dan nada penyesalan dari mereka? Atau ketika Saudara mengharapkan pelayanan dari sebuah instansi pendidikan, kesehatan, atau yang lainnya, namun ketika Saudara tidak menerima pelayanan sesuai dengan harapan, atau prosedur maupun standar yang ada, tetapi tidak menerima sedikit pun kata permohonan maaf dari mereka? Lihatlah misalnya kasus yang belakangan ini menjadi sorotan, tentang pelayanan sebuah rumah sakit yang membuat sebuah keluarga harus kehilangan seorang anaknya karena pelayanan yang kurang –atau tidak- memuaskan? Sangat sulit untuk sekadar mengucapkan minta maaf. Yang ada adalah justru -ya apa lagi- selain pembelaan dan pembenaran diri.

Mengucapkan “Saya minta maaf” memang perkara sederhana dan sepele. Tapi bila yang nampaknya sederhana dan sepele itu kian lenyap dan menghilang, maka soalnya tentu sama sekali tidak lagi menjadi sederhana dan sepele.

Hilangnya kebudayaan minta maaf dari mulut dan bibir kita, terlebih jika hal itu terjadi di hati kita, sesungguhnya berarti hilangnya kepekaan kita sebagai manusia. Meminta maaf adalah upaya kita untuk menjalin sebuah hubungan personal yang saling menghargai dan menghormati. Hilangnya kebudayaan minta maaf, berarti kita sedang menumbuhkan sebuah hidup bermasyarakat yang sewenang-wenang. Lebih dari itu, menghilangnya budaya maaf sebenarnya juga pertanda dari semakin sirnanya kepekaan kita kepada nilai-nilai. Semakin pudarnya batas antara yang benar dan salah, antara yang baik dan buruk. Dan kalau ini dibiarkan terus tanpa koreksi, maka hampir dapat dipastikan ia akan semakin terbiasa dengan yang salah dan yang buruk. Menguatirkan dan mengerikan bukan?

Bukankah dosa juga bekerja seperti itu? Semakin kita terbiasa dengan dosa, kita semakin kebal dan imun? Semakin sering kita melakukannya, semakin kita tidak merasa bersalah? Dari sinilah kita dapat mengerti mengapa pertobatan dan pengampunan itu merupakan dua hal yang sangat vital dan sentral bagi kepercayaan kita, umat Kristen. Kita dituntut untuk siap dan bersedia bertobat setiap saat. Itu berarti setiap saat pun, kita harus menyadari dan menyesali segala sesuatu yang salah dan yang buruk. Dan sudah tentu tidak sekedar menyadari dan menyesalinya, tetapi juga memperbaikinya. Sebab pertobatan tidak lain berarti tekad dan komitmen kita untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama di waktu mendatang.

Tapi kita juga membutuhkan pengampunan. Sebab tanpa pengampunan, maka penyesalan hanya akan melahirkan rasa bersalah yang tak kunjung berhenti. Pengampunan berarti kita diperkenankan merangkul dan menutup masa lalu, dan memulai masa depan secara baru. Sebab itu, jika kita bersalah kepada orang lain, segeralah tanpa sungkan, malu, dan takut untuk meminta maaf. Dan jika ada orang lain yang meminta maaf kepada kita, segeralah pula tanpa rasa angkuh dan superior memaafkan kesalahannya. Sekecil apa pun bantuan yang kita minta, awali dengan kata „tolong‟, sekecil apa pun kesalahan kita, sampaikan permohonan „maaf‟, dan sekecil apa pun bantuan orang lain yang kita terima, sampaikan „terima kasih‟. Wah, kalau ini yang kita katakan dan lakukan, indah bukan? Coba dan buktikan sendiri!


©arsado (Cermin - Warta, 17 September 2017)