HIDUP: “BALON” atau “TELUR”

Written by GKI Serpong on . Posted in Cermin

Anda pernah berkunjung ke candi Borobudur? Kemungkinan besar, pernah. Paling sedikit, melihat gambarnya. Tetapi pernahkah Anda bertanya, mengapa stupa berbentuk bulat atau, lebih tepat, bulat telur alias lonjong? Kemungkinan besar, tidak. Saya pernah menanyakannya. Jawaban yang saya peroleh adalah, bentuk tersebut melukiskan hakikat kehidupan manusia. Bahwa pada hakikatnya, kehidupan adalah seperti balon atau gelembung sabun. Bulat panjang. Sunnayavada. 

Balon kelihatan indah menawan hati. Coraknya meriah berwarna-warni. Lincah dan ringan bergerak ke sana ke mari. Sebab itu, banyak dipakai untuk menyemarakkan suasana pesta. Tetapi jangan terkecoh oleh apa yang Anda lihat! Sebab semua itu hanyalah penampakan luar belaka. Tipuan mata semata. Sedangkan hakikat yang sesungguh-sungguhnya? Kosong. Hampa. Isinya paling-paling gas atau udara. Keberadaannya juga sangat sementara. Sebentar terbang kesana dengan lincahnya. Sebentar berayun ke sini dengan riangnya. Tetapi tak berapa lagi lenyap. Ke mana? Kembali ke ketiadaan.

Itulah pemahaman versi pertama mengenai hakikat serta makna kehidupan. Hidup berawal dan berasal dari ketiadaan. Lalu kembali pula ke ketiadaan. Nothingness. Dari luar kelihatan cantik dan menawan, padahal kosong di dalam. Keberadaanya maya. Seolah-olah ada, padahal tiada. Sebab itu, Anda telah tepedaya bila menggan-gap hidup di dunia ini adalah segala-galanya. Apalagi bila sampai mengorbankan apa saja untuknya. Menurut Pengkotbah, hidup adalah “… kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia-sia. Apakah gunanya manusia berusaha dengan jerih payah di bawah matahari?” (Pkh. 1 : 2-3). Filsafat Kejawen juga sami mawon. Aliran ini mengatakan, hidup ini Cuma sekedar untuk mampir minum. Maksudnya, cuma sekilas, setelah itu lenyap tanpa bekas. Tak perlu diacuhkan sangat.

Tetapi Hidup yang berkemenangan punya versi dan pandangan yang amat berbeda. Realitas yang dilihatnya memang sama. Dilihat dari luar, apa yang terjadi pada orang-orang yang menganut keyakinan ini juga sama. Maksud saya, orang Kristen juga bisa sakit, bisa bangkrut, bisa menderita, malah bisa pula jatuh dalam dosa. Bahkan tidak jarang, orang-orang lain lebih sukses dan lebih “jaya”.

Dalam pandangan Kristen, hidup juga lonjong. Tetapi bukan lonjongnya sebuah “balon”, melainkan bulat lonjongnya sebuah “telur”. Dibandingkan dengan balon, telur jelas kalah cantik dan kalah menarik. Kecil dan rentan. Mudah pecah. Telur juga kelihatan kosong, tidak ada apa-apanya. Tetapi sebenarnya tidak kosong! Sebab di dalamnya terkandung potensi kehidupan. Di dalamnya tersedia pelbagai kemungkinan.

Siklus kehidupannya berlawanan dengan balon. Kalau siklus “balon” adalah dari “hidup” ke “kematian”, siklus “telur” adalah dari “kematian” ke “kehidupan”. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Bukan sekarang kelihatan genit, kemayu, kenes. Tetapi tak berapa lama lagi luruh, ambruk, kempis. 


MFNT (Cerimin - Warta Jemaat, 29 April 2018) (disadur dari 365 Anak Tangga Menuju Hidup Berkemenangan oleh Pdt. Eka Dharma Putera)